Infertilitas atau kemandulan sering kali menjadi beban berat bagi pasangan suami istri di Indonesia, terutama bagi wanita. Memiliki anak merupakan impian bagi hampir semua pasangan yang menikah, namun tidak semua pasangan diberi kemudahan untuk memiliki keturunan.
Menurut WHO (2021), infertilitas adalah kegagalan sistem reproduksi untuk mencapai kehamilan setelah hubungan seksual tanpa proteksi selama 12 bulan. Infertilitas terbagi menjadi dua jenis, yaitu infertilitas primer dan infertilitas sekunder. Infertilitas primer terjadi ketika pasangan belum pernah memiliki anak, sementara infertilitas sekunder terjadi ketika pasangan yang sudah memiliki anak kesulitan untuk mendapatkan anak lagi.
Penyebab Infertilitas
Infertilitas tidak hanya terjadi pada wanita, tetapi juga dapat dialami oleh pria. Di Indonesia, sekitar 10-15% pasangan usia subur mengalami masalah ini, yang berarti 4-6 juta pasangan harus menghadapi kenyataan sulit untuk memiliki keturunan secara alami.
Infertilitas pada pria disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhi produksi sperma:
- Faktor Pretestikular, berkaitan dengan gangguan hormonal.
- Faktor Testikular, terjadi di testis yang mengganggu pembentukan sperma.
- Faktor Posttestikular, terjadi setelah sperma keluar dari testis.
Sementara itu, penyebab infertilitas pada wanita antara lain:
- Gangguan Hormonal
- Endometriosis
- Polycystic Ovary Syndrome (PCOS)
- Kerusakan atau penyumbatan tuba falopi
- Alergi sperma (ASA tinggi)
Wanita berkontribusi sekitar 40-50% dalam kasus infertilitas, sementara pria menyumbang 30%. Sisanya, 20-30%, berasal dari faktor lain yang mempengaruhi kedua pasangan.
Stigma Sosial Terhadap Wanita
Meskipun infertilitas dapat dialami oleh kedua pihak, stigma negatif sering kali mengarah kepada wanita. Budaya patriarki yang masih kuat di beberapa daerah di Indonesia memandang perempuan sebagai pihak yang harus disalahkan ketika sebuah pasangan belum memiliki anak. Masyarakat cenderung menganggap kemandulan sebagai “masalah wanita,” padahal data menunjukkan bahwa pria juga berperan signifikan dalam kasus infertilitas.
Stigma ini diperburuk dengan bias gender yang ada dalam budaya, di mana perempuan sering kali mendapatkan tekanan sosial untuk segera hamil setelah menikah. Akibatnya, perempuan yang mengalami infertilitas rentan terhadap tekanan psikologis, emosional, dan sosial. Stigma ini bukan hanya menghambat mereka untuk mendapatkan perawatan yang layak, tetapi juga menciptakan beban emosional yang berat.
Dampak Psikologis dan Sosial Infertilitas
Infertilitas dapat menyebabkan tekanan psikologis yang besar, terutama pada wanita. Keinginan untuk memiliki anak sering kali dikaitkan dengan keberhasilan seorang perempuan dalam menjalankan perannya sebagai istri. Tekanan ini berasal dari ekspektasi sosial yang tinggi terhadap peran perempuan dalam rumah tangga, sehingga wanita yang tidak bisa memiliki anak merasa kurang atau gagal.
Hal ini bisa berdampak pada hubungan dengan pasangan dan keluarga besar, serta menurunkan rasa percaya diri. Selain itu, tekanan dari masyarakat yang masih memandang infertilitas sebagai hal yang tabu dapat memperparah situasi.
Perawatan Infertilitas dan Dukungan yang Diperlukan
Perempuan dengan masalah infertilitas memerlukan dukungan emosional, sosial, dan medis. Infertilitas bukanlah akhir dari kehidupan seorang wanita. Dengan kemajuan teknologi, ada banyak solusi yang dapat dilakukan untuk membantu pasangan mendapatkan keturunan, mulai dari perubahan gaya hidup hingga metode canggih seperti inseminasi buatan dan fertilisasi in vitro (IVF).
Lebih penting lagi, pasangan infertil, khususnya perempuan, harus diberdayakan dan didukung dalam menghadapi stigma sosial yang masih ada. Kemandulan bukanlah sebuah kegagalan, tetapi sebuah tantangan yang dapat diatasi dengan dukungan yang tepat.
Dengan demikian, penting bagi masyarakat untuk meningkatkan kesadaran bahwa infertilitas bukan hanya masalah medis, tetapi juga masalah sosial. Menghapus stigma negatif terhadap wanita yang mengalami infertilitas dan memberikan akses layanan kesehatan yang setara bagi setiap pasangan adalah langkah penting untuk mewujudkan kesejahteraan yang lebih baik.
0 Komentar